Sunday, January 17, 2021

faktor Manusia dalam K3 - Teori Ramsey 1978

1. Sejarah 

Teori Ramsey dilatarbelakangi oleh masih tingginya kerugian yang ditimbulkan dari faktor manusia dan cost ekonomi dari kecelakaan atau cidera meskipun perusaahaan di Amerika dan beberapa negara lainya telah memperbaiki sistem keselamatannya (safety system). Oleh karena itulah, Ramsey mengajukan suatu model yang digunakan sebagai framework untuk menggambarkan faktor perilaku yang menyebabkan peristiwa kecelakaan.

Teori yang diajukan Ramsey bertujuan untuk mencegah terjadinya kecelakaan di tempat kerja. National Safety Council mendefinisikan kecelakaan sebagai “any unexpected event that interupts or interferes with the orderly progress of the production activity or process”. Artinya, kecelakaan merupakan suatu peristiwa yang tidak terduga yang terjadi saat proses produksi atau saat melakukan suatu aktivitas. Pengertian tersebut menunjukan bahwa suatu kecelakaan dapat menyebabkan loss berupa injury, property damage, dan kematian.


2. Model Teori Ramsey ( 1978)

Teori Ramsey merupakan salah satu dari accident theory yang membahas bagaimana suatu kejadian kecelakaan dapat terjadi. Teori ini memaparkan faktor-faktor yang ada pada diri seseorang sehingga dapat mempengaruhi terbentuknya perilaku bekerja yang selamat atau tidak selamat (safety behavior atau unsafety behavior). Berdasarkan teori ini diketahui bahwa dalam pembentukan perilaku kerja yang aman (safety behavior) terdapat 4 tahapan yang dilalui, yaitu : 
1) Tanggapan terhadap hazard (perception of hazard)
2) Pengetahuan terhadap hazard (cognition of hazard)
3) pengambilan keputusan (decision making)
4) kemampuan menghindar (ability to avoid)

Semua tahapan diatas terjadi secara berurutan dan berkesinambungan sehingga menciptakan safety behavior. Apabila semua tahapan dilakukan dengan baik dan tidak melenceng.keluar dari alur tahapan maka safety behavior dapat dihasilkan dan menghindarkan seseorang dari kecelakaan. 


3. Proses

Tahap pertama dalam proses pembentukan safety behavior adalah tanggapan terhadap suatu bahaya (perception of hazard) yang ada di sekitar. Kemampuan seseorang dalam menanggapi bahaya yang ditemui bergantung pada kecakapan sensoris (sensory skill), kemampuan perseptual (perceptual skill), dan kesiagaan mentalnya (state of allertness). Jika ada satu kecakapan yang ia lalaikan, peluang terjadinya perilaku tidak aman yang berujung pada kecelakaan akan lebih besar. Artinya, ia tidak akan menampilkan safety behavior.

Tahap kedua adalah pengetahuan terhadap hazard (cognition of hazard), yaitu seberapa besar pengetahuan seseorang tentang suatu bahaya yang ada. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1) pengalaman (experience)
2) pelatihan (training)
3) kemampuan mental (mental ability)
4) daya ingat (memory ability).

Dari pengalaman yang dimiliki, sseseorang menjadi bertambah pengetahuannya terhadap suatu hazard sehingga diharapkan ia dapat mencegah terjadinya kecelakaan. Selain pengalaman, pelatihan juga dapat memperkaya pengetahun seseorang terhadap hazard melalui materi yang diajarkan. Kemampuan mental dan daya ingat juga berpengaruh terhadap pengetahuan seseorang terhadap hazard. Jika ia memiliki daya ingat yang buruk dikhawatirkan dapat menimbulkan kecelakaan karena ia menjadi tidak tanggap lagi terhadap suatu bahaya. Apabila seseorang telah mengamati bahaya yang ada dan ia tidak mempunyai pengetahuan tentang bahaya itu atau tidak berpengalaman untuk menanggulangi bahaya tersebut maka safety behavior juga tidak akan muncul. Pada tahapan yang selanjutnya, tahap ketiga, diperlukannya pengambilan keputusan (decision making ). 

Decision making yang tepat untuk menghindari bahaya di tempat kerja akan dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu :
1) pengalaman (experience)
2) pelatihan (training)
3) sikap (attitude)
4) motivasi (motivation)
5) kepribadian (personality)
6) kecendrungan menghadapi resiko (risk-taking tendency). 

Safety behavior juga tidak akan muncul apabila seseorang tidak dapat mengambil keputusan untuk menghindari bahaya dengan tepat walaupun sebelumnya telah melakukan pengamatan dan mengetahui suatu bahaya yang ada. Setelah berhasil mengambil keputusan untuk menghindari suatu bahaya, tahapan selanjutnya adalah memiliki kemampuan (ability) untuk menghindari bahaya tersebut. Tahapan ini merupakan tahapan terakhir dalam pembentukan safety behavior. Sama dengan tahap-tahap sebelumnya, apabila seseorang tidak memiliki kemampuan untuk menghindari bahaya walaupun tidak terjadi kesalahan dalam tahap sebelumnya maka safety behavior tetap tidak akan terbentuk. 

Kemampuan seseorang untuk menghindari suatu bahaya (ability to avoid) akan dipengaruhi oleh :
1) Ciri-ciri fisik dan kemampuan fisik (physical characteristics and abilities)
2) Kemampuan psikomotorik (psychomotor skill)
3) Proses-proses fisiologis (physiological process)

Pada akhirnya, perilaku aman akan terbentuk dan menhindarkan seseorang dari celaka. Namun, diluar 4 tahapan besar diatas, menurut model ini, ada suatu faktor yaitu faktor kesempatan (chance) yang dapat tetap menimbulkan kecelakaan meskipun seseorang telah memiliki safety behavior, dan juga sebaliknya kecelakaan tidak jadi terjadi meskipun seseorang berperilaku tidak aman (unsafe behavior).


Gambar Model Teori Ramsey


Semoga Bermanfaat,

Salam, 


Saturday, January 16, 2021

Gambaran Industrial Hygiene Secara Umum dalam K3






Sumber gambar: https://unilabperdana.com/site/images/post/5597_gambar%20IH%201.jpg


Higiene industri menurut OSHA (1998) adalah ilmu pengetahuan dan seni yang ditujukan untuk mengantisipasi, mengenali, mengevaluasi dan mengendalikan faktor lingkungan atau tekanan yang terjadi di atau dari tempat kerja yang dapat menyebabkan penyakit, gangguan kesehatan dan kesejahteraan atau ketidaknyamanan yang signifikan di kalangan pekerja atau masyarakat sekitar. Konsep dalam higiene industri adalah bagaimana membatasi paparan hazard yang diterima pekerja di tempat kerja. Pendekatannya melalui usaha preventif untuk melindungi kesehatan pekerja dan mencegah timbulnya efek yang ditimbulkan oleh bahaya.

Adapun peran industrial hygiene secara umum yaitu:
  1. Sebagai alat untuk mencapai derajat kesehatan pekerja setinggi-tingginya.
  2. Sebagai alat untuk meningkatkan produksi, yang berlandaskan kepada meningginya efisiensi dan daya produktivitas faktor manusia dalam produksi.
  3. Mencegah dan memberantas kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
  4. Memelihara dan meningkatan higiene dan sanitasi perusahaan pada umumnya seperti kebersihan ruangan-ruangan dan cara pembuangan sampah.
  5. Memberikan perlindungan masyarakat luas (konsumen) dari bahaya-bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh hasil-hasil produksi perusahaan

Ruang lingkup higiene industri terdiri dari Antisipasi, Rekognisi, Evaluasi, dan Pengendalian (AREP)

1) Antisipasi
Antisipasi merupakan suatu rangkaian aktivitas yang dilakukan untuk memperkirakan peluang atau potensi bahaya yang ada ditempat kerja.

2) Rekognisi
Rekognisi merupakan rangkaian aktivitas dalam mengetahui serta mengukur seluruh aspek lingkungan kerja yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik suatu bahaya secara menyeluruh, mengetahui sumber bahaya dan area yang berisiko, mengetahui proses kerja yang berisiko, dan mengetahui berapa pekerja yang terpapar risiko bahaya.

3) Evaluasi
Evaluasi merupakan suatu aktivitas dengan menganalisis pada hasil rekognisi hingga bisa ditetapkan apakah satu lingkungan kerja ini beresiko atau tidak pada pekerja dengan membandingkan dengan beberapa batasan yang sudah ditetapkan (NAB, dan lain-lain).

4) Pengendalian
Pengendalian merupakan rangkaian aktivitas dalam mengatur bahaya ditempat kerja agar tak menyebabkan gangguan kesehatan untuk pekerja, yang dapat diklasifikasikan menjadi pengendalian secara teknik, administratif, dan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD).


Semoga bermanfaat,

Salam,

Anak KaTiga 


Komunikasi Bahaya (Hazard Communication) dalam K3

sumber: https://www.optimumsafetymanagement.com/wp-content/uploads/2016/02/Is-Your-OSHA-Safety-Training-Program-Ready-For-The-New-Hazard-Communication-Standard.jpg



Masalah keselamatan dan kesehatan kerja (K3) tidak dapat dipandang sebelah mata di dunia kerja karena hal ini berkaitan dengan sehat dan selamatnya diri pekerja. Walaupun masih begitu banyak pemberi kerja dan bahkan si pekerja itu sendiri abai terhadap K3.
Perilaku abai ini salah satunya disebabkan karena pemberi kerja dan pekerja tersebut kurang memahami bahaya dan risiko yang dapat timbul dari pekerjaan yang dilakukannya. Padahal sebenarnya sudah begitu banyak peraturan untuk "memaksa" agar budaya K3 berjalan namun dalam pelaksanaannya masih banyak yang berperilaku tidak selamat. Untuk itu penting adanya komunikasi hazard diberikan kepada pekerja.

Komunikasi bahaya atau hazard communication adalah suatu cara untuk menunjukkan bahwa suatu benda atau area mengandung bahaya atau jenis bahaya tertentu. Dasar hukum dari komunikasi bahaya atau hazard communication di Indonesia adalah UU No. 1/1970 pasal 9 ayat 1, yaitu “telah menjadi syarat dan kewajiban perusahaan untuk mengkomunikasikan bahaya ditempat kerja kepada pekerja/karyawan”. 

Standar komunikasi hazard ini dapat mengacu pada Hazard Communication Standard (HCS) yang dikeluarkan oleh OSHA (29 DFR 1910.1200) tahun 1994 dengan basic goal dari standar ini adalah untuk memastikan pekerja dan pemberi kerja mengetahui tentang bahaya yang ada di area kerjanya serta bagaimana tindakan pencegahan yang tepat yang bisa mereka lakukan sehingga angka kecelakaan dan kesakitan dapat menurun bahkan nihil (zero accident). Menurut OSHA, tujuan lain dari Hazard Communication Standard (HCS) adalah “untuk memastikan bahwa bahaya terutama yang berasal dari semua bahan kimia yang diproduksi atau diimpor dilakukan evaluasi dan rincian mengenai bahayanya lalu ditransmisikan kepada pemberi kerja dan karyawan.” Alasan di balik HCS ini adalah bahwa pengusaha dan karyawan memiliki hak untuk mengetahui bahaya dan identitas bahan kimia yang mereka hadapi dan tindakan pencegahan apa yang dapat mereka ambil untuk melindungi diri mereka sendiri. 


Dalam HCS dijelaskan bahwa perusahaan atau pemberi kerja wajib memberifasilitas informasi kesehatan keselamatan kerja kepada pekerjanya melalui:
  1. Memastikan pelabelan bahan kimia yang tepat dan form-form peringatan bahaya (warning) lainnya; 
  2. Menyediakan lembar data keselamatan atau SDS (safety data sheet) pada setiap material kerja terutama yang tergolong chemical hazard sesuai standar GHS (Global Harmonization System)
  3. Melatih karyawan secara berkala; dan 
  4. Membuat program komunikasi bahaya tertulis. 
Menurut NFPA 704, sistem peringatan bahaya sebagai bentuk komunikasi bahaya harus dapat menguraikan sistem peringkat bahaya yang ada untuk dapat dilakukan oleh masing-masing personel terutama saat darurat, menentukan rambu info jenis bahan berbahaya yang ada, sistem peringkat bahaya menggunakan 3 kode warna & 5 tingkat Intensitas

Cakupan komunikasi bahaya adalah:
  • Kondisi dan bahaya yang timbul di tempat kerja
  • Cara dan sikap yang aman dalam bekerja
  • Awareness / kesadaran pekerja terhadap kebijakan K3 perusahaan
  • Alat pelindung diri (APD) 
  • Konsekuensi jika tidak menjalankan prosedur kerja sesuai peraturan

Manfaat penerapan komunikasi bahaya adalah:
  • Memudahkan mengetahui kandungan bahaya dalam suatu bahan atau area kkerja
  • Penanganan bahan berbahaya tersebut dapat dilakukan dengan tepat sesuai jenis bahan yang bersangkutan
  • Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) yang sesuai
  • Dapat dengan cepat mengetahui langkah-langkah pengobatan jika terkena bahan.
  • Penggunaan media pemadam yang sesuai dengan bahan

Demikian postingan singkat terkait komunikasi bahaya dalam K3.
Semoga bermanfaat.

Salam,



Rekomendasi Artikel Lain Untuk Anda: