Saturday, April 14, 2018

Contoh Kasus Penilaian Risiko - Manajemen Risiko K3



Setelah mengetahui konsep dasar manajemen risiko dan cara penilaiannya, maka sekarang kita lihat bagaimana aplikasi penggunaannya dalam contoh kasus berikut:


sumber: http://ccscleaning.com/wp-content/uploads/2018/03/retail-cleaning-post-imgg.jpg


Namashite's Cleaners Provider adalah provider penyedia jasa pembersihan area gedung perkantoran. Provider in memiliki 20 orang pekerja pembersih part-time. Dua orang diantaranya tidak bisa berbahasa Indonesia, dimana bahasa Indonesia merupakan bahasa utama di negara tempat kerja mereka. Belum lama ini provider ini memenangkan kontrak untuk meng-handle dua lantai komplek perkantoran, dengan hari kerja: Senin hingga Jumat dari pukul 09.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB. Kantor ini dijaga oleh satpam selama 24 jam penuh. Orang-orang yang datang ke kantor ini tidak hanya karyawan perusahaan, namun juga banyak tamu dan karyawan magang. Sementara itu tugas yang harus dilakukan pekerja ialah membersihkan ruang kantor, dapur, toilet, dan lantai keramik di bagian resepsionis depan dengan menggunakan mesin pembersih lantai. Pembagian kerja pekerja kebersihan ini dibagi menjadi dua shift, yaitu tiga orang pekerja dari pukul 06.00 WIB hingga pukul 13.30 WIB dan tiga pekerja akan bekerja setiap hari dari pukul 13.30 WIB hingga pukul 21.00 WIB.

Berikut contoh penilaian total risiko yang dilakukan terhadap kegiatan pembersihan area perkantoran, yaitu perhitungan risiko dengan mengabaikan tindakan pengendalian yang ada.


(klik untuk memperbesar)




Berdasarkan tabel manajemen risiko, sebagian besar pekerjaan yang dilakukan karyawan Namashite's Cleaners Provider ini, tergolong medium (kuning) - high (orange) - extreme (merah). Maka tindakan pencegahan yang dilakukan dapat disesuaikan dengan rekomendasi per-warna dari risk matrix tersebut.

Kesiapan perusahaan saat menilai total risiko sangat dipengaruhi sumber daya yang dimilikinya , baik manusia( Kebijakan manajemen dan SDM yang ahli ) dan uang/modal serta waktu yang digunakan untuk identifikasi serta analisis risiko.Kompleksnya hal ini terkait dengan konsep 5M (man, machine, method, measurement and material), yang akan menentukan strategi manajemen risiko.
  
Pemahaman dalam setiap tahapan manajemen risiko, meningkatkan keahlian identifikasi hazard dan risiko. Analisis risiko menghasilkan total risiko suatu perusahaan yang perlu ditelaah untuk dikelola/dikendalikan sehingga residual risiko nantinya dapat diturunkan ke level yang dapat diterima oleh organisasi tersebut.
 
Pelaksanaan kegiatan manajemen risiko perlu ditinjau ulang secara berkesinambungan. Hal ini bertujuan untuk menjamin terciptanya optimalisasi manajemen risiko sehingga implementasi manajemen risiko tetap sejalan dengan kebijakan perusahaan. Perlu juga dipahami bahwa risiko adalah sesuatu yang dapat berubah setiap waktu, maka perlu dilakukan peninjauan ulang secara berkala terhadap langkah-langkah pengendalian yang telah diambil. Total risiko suatu perusahaan adalah dinamis yang perlu senantiasa diperhatikan secara efektif dan efisien, untuk capaian keselamatan dan kesehatan kerja akan optimal.



Semoga bermanfaat,


Salam,

Friday, April 13, 2018

Kosep Total Risiko dalam Manajemen Risiko K3



Dalam tahap analisis risiko manajemen risiko K3, terdapat 2 (dua) jenis risiko yang harus dinilai, yaitu:
  1. Total risiko
  2. Risiko sisa

Total risiko dari suatu kegiatan penting sekali dipahami terhadap konteks usaha organisasi. Dalam penentuan total risiko perlu dipertimbangkan kebijakan strategis dan visi misi dari organisasi karena suatu aktivitas/kegiatan yang sama dapat memiliki nilai risiko yang berbeda-beda.

Secara umum total risiko adalah besaran risiko yang tergantung dari besaran hazard dan kemungkinan frekuensi yang akan terjadi. Total risiko merupakan pendekatan strategik terhadap penilaian skenario terburuk yang mungkin terjadi untuk suatu risiko yang diidentifikasi dari suatu kegiatan, tanpa memperhitungkan mitigasi/tindakan pengendalian risiko yang telah atau akan dilakukan. Secara perhitungan dapat dirumuskan bahwa total risiko merupakan perkalian antara Consequence dan Likelihood (C x L) tanpa mempertimbangkan tindakan pengendalian yang ada.

Total risiko dapat juga dimaknai sebagai berikut:

  • Total risiko merupakan basic level dari kegiatan penilaian risiko awal tanpa mempertimbangkan program pengendalian risiko yang ada.
               
  • Penilaian total risiko menilai skenario terburuk dari suatu risiko yang diidentifikasi (probable worst case) pada suatu aktivitas di unit kerja.Penilaian total risiko tidak mempertimbangkan pertahanaan (barrier) yang sudah disusun sebelumnya.
               
  • Penilaian total risiko juga didasarkan pada prosedur perusahaan yang ada sehingga walaupun terdapat 2 jenis kegiatan yang sama di 1 perusahaan, akan tetapi hasil penilaian risikonya bisa saja berbeda tergantung dari prosedur yang berlaku di masing-masing kegiatan.
           
  • Penilaian total risiko tergantung pada sumber daya yang ada, baik sumber daya manusia maupun sumber daya material dan immaterial dari perusahaan tersebut.
               
  • Level dari penilaian total risiko sangat bergantung pada expert judgement, dimana semakin banyak expert team, maka hasil penilaian total risiko akan semakin tepat. Sebaliknya, jika tim manajemen risiko belum terlalu expert dalam kegiatan yang sedang dianalisa risikonya, maka hasil penilaian dari total risiko akan semakin menjauh dari ketepatan.

Hasil dari perhitungan total risiko dapat dimasukkan ke dalam risk matrix seperti pada tabel dibawah ini untuk menentukan tingkat keparahan risiko yang ada di tempat kerja.


Tabel Risk Matrix (klik untuk perbesar gambar)


Dalam penilaian risiko ada tantangan tersendiri yang harus dihadapi. Tantangan yang sering ditemui dalam melakukan penilaian total risiko yaitu:

· Kesiapan perusahaan terkait dengan:
  • Awareness terhadap proses manajemen risiko
  • Expertise yang dimiliki oleh tim manajemen risiko
  • Investment: time, money yang dialokasikan oleh perusahaan
· Complexity terkait dengan konsep 5M (man, machine, method, measurement and material).

Untuk contoh kasus perhitungan/penilaian risiko dapat di klik disini.


Semoga bermanfaat,

Salam,

Konsep Manajemen Risiko dalam K3


Manajemen risiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja ialah bagian yang tidak terpisahkan dari manajemen proses organisasi dan merupakan proses yang berjalan terus-menerus (continuously). Tim pelaksana kegiatan manajemen risiko terdiri dari mutlidisiplin keilmuan dan latar belakang. Anggota tim tersebut harus memiliki pemahaman yang detail pada setiap istilah dalam kegiatan manajemen risiko dan juga pemahaman terkait kegiatan yang sedang dianalisa risikonya agar proses kegiatan manajemen risiko berjalan dengan efektif dan efisien.


Overview Manajemen Risiko


Dalam AS/NZS 4360:2004, kegiatan manajemen risiko memiliki enam tahapan, yaitu penetapan konteks, identifikasi hazard, analisa risiko, evaluasi risiko, pengendalian risiko dan monitoring serta tinjauan ulang, yang dijabarkan sebagai berikut:
  1. Tetapkan konteks dan tujuan kegiatan yang akan dikelola risikonya
    Menetapkan strategi, kebijakan organisasi dan ruang lingkup manajemen risiko yang akan dilakukan.
      
  2. Identifkasi risiko
    Mengidentifikasi apa, mengapa dan bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya risiko untuk analisis lebih lanjut.
      
  3. Analisis risiko
    Dilakukan dengan menentukan tingkatan probabilitas dan konsekuensi yang akan terjadi. Kemudian ditentukan tingkatan risiko yang ada dengan mengalikan kedua variabel tersebut (Probabilitas X Konsekuensi).
      
  4. Evaluasi risikoMembandingkan tingkat risiko yang ada dengan kriteria standar. Setelah itu tingkatan risiko yang ada untuk beberapa hazards dibuat tingkatan prioritas manajemennya. Jika tingkat risiko ditetapkan rendah, maka risiko tersebut masuk ke dalam kategori yang dapat diterima dan mungkin hanya memerlukan pemantauan saja tanpa harus melakukan pengendalian.
       
  5. Pengendalian risiko
    Melakukan penurunan derajat probabilitas dan konsekuensi yang ada dengan menggunakan berbagai alternatif metode, bisa dengan transfer risiko, dan lain-lain.
                
  6. Monitor dan Review
    Monitor dan review terhadap hasil sistem manajemen risiko yang dilakukan serta mengidentifikasi perubahan-perubahan yang perlu dilakukan.

Jadi dalam konsep manajemen risiko, risiko itu dapat diukur sehingga dapat ditentukan langkah pencegahan yang tepat. Untuk menilai total risiko dapat di klik disini. Dan contoh perhitungannya berdasarkan studi kasus dapat dilihat disini.


Semoga bermanfaat,

Salam,

Tujuan K3 dan Komponen Kunci Program Industrial Hygiene




Tujuan dari program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah mencegah dan menurunkan risiko terjadinya sakit dan cedera akibat kerja dengan cara antisipasi, rekognisi, evaluasi, dan pengendalian (AREP) hazard (bahaya) kesehatan dan keselamatan. Komponen utama agar program K3 dapat berjalan secara efektif adalah komitmen dari pihak manajemen. Dimana safety dan health harus mendapat prioritas yang sama.

Sumber: http://www.dosenpendidikan.com/wp-content/uploads/2017/12/keselamatan-kerja-1.jpg




Program IH harus terdiri dari beberapa komponen kunci:
  1. Pernyataan kebijakan/program secara tertulis
  2. Prosedur rekognisi hazard
  3. Evaluasi hazard dan assessment eksposur
  4. Pengendalian hazard
  5. Pelatihan untk karyawan
  6. Keterlibatan karyawan
  7. Evaluasi program dan audit
  8. Record-keeping

Seorang safety professional harus memiliki pengetahuan mengenai engineering, fisika, kimia, statistik, matematika dan secara menyeluruh faktor-faktor yang berkontribusi menyebabkan terjadinya kecelakaan dan mengkombinasikannya dengan pengetahuan mengenai motivasi, perilaku, dan komunikasi yang bertujuan untuk membuat metode dan prosedur untuk mengontrol safety hazard.

Karyawan memainkan peran penting dalam program K3 karena merupakan sumber informasi mengenai proses kerja dan bahaya yang ada di sekitar pekerja.



Semoga bermanfaat,

Salam,
Anak KaTiga

Lowongan Pancawira-BP - Ahli K3 Konstruksi Muda

Pancawira-BP sedang mencari "Ahli K3 Konstruksi Muda" dengan tugas dan tanggung jawab yang akan diemban:

  1. Menerapkan ketentuan tentang K3 konstruksi
  2. Mengkaji dokumen kontrak dan metode kerja pelaksanaan konstruksi
  3. Merencanakan dan menyusun program K3
  4. Melakukan sosialisasi program K3
  5. Mengusulkan perbaikan metode kerja konstruksi berbasis K3
  6. Melakukan penanganan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja serta keadaan darurat





Kirim semua persyaratan dokumen yang terdapat dalam brosur ke: hrd@pancawira-bp.com dan CC ke: career@hsecenter-id.com.



Semoga bermanfaat.


Salam,

Tuesday, April 10, 2018

Bising dan Faktor Pemaparannya


Bising adalah suara atau bunyi yang mengganggu atau tidak dikehendaki, sedangkan secara audiologi, bising adalah campuran bunyi nada murni dengan berbagai frekuensi (Rambe, 2003).


sumber: https://i0.wp.com/kabarpenumpang.com/wp-content/uploads/2017/03/bahaya-kebisingan.jpg?fit=800%2C534&ssl=1




Faktor-faktor yang mempengaruhi pemaparan kebisingan


Menurut Dwiatmo (2005) yang dikutip dari Leksono (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi pemaparan kebisingan antara lain:
  1. Intensitas kebisingan
    Makin tinggi intensitas maka makin besar pula resiko terjadinya penurunan pendengaran.
  2. Frekuensi kebisingan
    Makin tinggi frekuensi makin besar kontribusinya terhadap penurunan pendengaran.
  3. Lamanya waktu pemaparan bising
    Makin lama pemaparan makin besar resiko terhadap terjadinya gangguan penurunan pendengaran.
  4. Kerentanan individu
    Respon tiap-tiap individu terhadap pajanan bising berbeda-beda, tergantung dari kerentanan. Akan tetapi belum ditemukan metode untuk mengidentifikasi kerentanan individu terhadap pemaparan bising.
  5. Masa Kerja
    Makin lama masa kerja, makin besar resiko terjadinya gangguan penurunan pendengaran.
  6. Usia
    Sensitivitas pendengaran berkurang seiring dengan bertambahnya usia.



Pembagian Bising

Menurut Christopher (2009) berdasarkan sifatnya bising dapat dibedakan menjadi:
  1. Bising kontinu dengan spektrum frekuensi luas
    Bising yang relatif tetap dengan batas amplitudo kurang lebih mencapai 5 dB untuk jangka waktu 0.5 detik yang terjadi berturut-turut. Contohnya bunyi dalam kokpit pesawat helikopter, gergaji sirkuler, suara katup mesin gas, kipas angin, suara dapur pijar, dsb.
  2. Bising kontinu dengan spektrum frekuensi sempit
    Bising yang relatif tetap dan pada frekuensi tertentu seperti 500 Hz, 1000 Hz, atau 4000 Hz. Contohnya seperti suara gergaji sirkuler, suara katup gas.
  3. Bising terputus-putus
    Bising ini disebut juga intermittent noise, yaitu bising yang terjadi terputus-putus (tidak terjadi terus-menerus), melainkan ada periode relatif tenang. Contoh kebisingan ini adalah suara lalu lintas, kebisingan di lapangan terbang dan lain-lain.
  4. Bising impulsif
    Bising jenis ini memiliki perubahan tekanan suara melebihi 40 dB dalam waktu sangat cepat dan biasanya mengejutkan pendengarnya. Contoh bising impulsif misalnya suara ledakan mercon, tembakan, meriam dan lain-lain.
  5. Bising impulsif berulang-ulang
    Sama seperti bising impulsif, tetapi terjadi berulang-ulang misalnya pada mesin tempa. Bising yang dianggap lebih sering merusak pendengaran adalah bising yang bersifat kontinu, terutama yang memilikis spektrum frekuensi lebar dan intensitas yang tinggi.



Untuk melindungi pendengaran manusia (pekerja) dari pengaruh buruk kebisingan, Organisasi Pekerja Internasional /ILO (International Labour Organization) telah mengeluarkan ketentuan jam kerja yang diperkenankan pekerja terpajan dengan tingkat intensitas kebisingan lingkungan kerja sebagai berikut:

Sumber: Departemen Tenaga Kerja 1994 – 1995


Di Indonesia, intensitas bising di tempat kerja yang diperkenankan adalah 85 dB untuk waktu kerja 8 jam perhari (Time Weight Avarage/TWA), seperti yang diatur dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja no SE.01/Men/1978 tentang Nilai Ambang Batas (NAB) untuk kebisingan di tempat kerja.

Risiko utama yang dapat terjadi apabila pekerja bekerja dalam waktu yang lama di area bising adalah terjadinya Noise Induce Hearing Loss (NIHL), apa itu? yuk simak disini.


Semoga bermanfaat,

Salam,


-----
Referensi:

- Christoper, A. 2009. Noise Induced Hearing Program, [online], Faculty of Medicine, University of Riau. Dari: http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/02/noise-induced-hearing-loss-nihl-files-of-drsmed.pdf 


- Leksono, R. 2009. Gambaran Kebisingan di Area kerja Shop C-D Unit Usaha Jembatan PT. Bukaka Teknik Utama tahun 2009, [online], Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Dari: lontar.ui.ac.id

- Rambe, A. 2003. Gangguan Pendengaran Akibat Bising, [online], Fakultas Kedokteran, Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan, Universitas Sumatera Utara. Dari: http://library.usu.ac.id/download/fk/tht-andrina1.pdf


Surveilans dan Sistem Pengendalian NIHL



Sebelum masuk ke dalam sistem pengendalian NIHL yang tepat, alangkah baiknya teman-teman membaca terlebih dahulu beberapa artikel berikut:

Tujuannya agar dapat memahami kenapa langkah berikut ini yang diambil sebagai tindakan pengendaliannya.


****
Sistem Surveilans Sumber Penyebab NIHL (e.g. Bising)

Menurut NIOSH dalam Kurniawidjaja (2011), surveilans adalah suatu usaha pengumpulan data secara sistematis dan berkelanjutan, analisis, serta interpretasi data. Menurut Departement of Labour Wellington (1994), surveilans bising perlu dilakukan dengan tujuan:
  1. Untuk mengidentifikasi pekerja yang terkena tinnitus dan gangguan ringan lainnya, agar gangguan pendengaran tidak berlanjut.
  2. Untuk memonitor efektifitas program pengendalian bising di tempat kerja.
  3. Untuk meningkatkan upaya perlindungan bagi pekerja terutama pekerja yang berisiko.

Surveilans bising dibagi menjadi 2, yaitu:


1. Surveilans kesehatan pekerja

Surveilans kesehatan pekerja dapat dilakukan dengan pemeriksaan kesehatan. Pemeriksaan pekerja penting dilakukan sebelum penempatan kerja, secara berkala dan pensiun. Sebelum penempatan kerja berguna sebagai pertimbangan dalam memposisikan pekerja di tempat kerja serta sebagai baseline data tiap pekerja. Pemeriksaan secara berkala dilakukan sebagai deteksi dini penyakit dan pengontrolan kesehatan pekerja. Sedangkan pemeriksaan kesehatan pensiun dilakukan agar mengetahui perbedaan kesehatan pekerja saat masuk dan keluar dari pekerjaaan. Pengukuran nilai abang pendengaran pekerja dapat dilakukan dengan audiometri, sedangkan mengukur tingkat pajanan pada pekerja dapat dilakukan dengan menggunakan Noise dose meter (Buchari, 2007). Pengukuran ini harus dilakukan secara berkala tiap 2 tahun sekali. (Departement of Labour Wellington, 1994)

2. Surveilans lingkungan kerja

Surveilans tempat kerja dapat dilakukan dengan menggunakan sound level meter dan dilengkapi dengan octaveband analyzer (Kurniawidjaja, 2011). Hal ini dilakukan agar dapat mengetahui tingkat kebisingan di tempat kerja. Hal ini juga berguna untuk membuat noise mapping, dan lain-lain.




Program pencegahan dan pengendalian NIHL (Hearing Loss Prevention Program)


Bahaya di tempat kerja selalu menjadi bayang-bayang yang mengerikan bagi pekerja. Beberapa bahaya yang ada di tempat kerja berupa bahaya lingkungan, bahaya perilaku, bahaya somatik, bahaya ergonomik, dan bahaya psikososial (Kurniawidjaja, 2011). Namun dalam konteks kali ini kita membicarakan tentang bahaya fisik yaitu bising. Bahaya bising menjadi salah satu perhatian khusus di tempat kerja. Bahaya bising ini harus dikendalikan agar dapat meminimalisasi resiko. Salah satu pencegahan bahaya bising ini adalah program pencegahan gangguan pendengaran. “Program pencegahan gangguan pendengaran adalah program yang diterapkan di lingkungan tempat kerja untuk mencegah gangguan pendengaran akibat terpajan kebisingan pada pekerja” (Bashirudin, 2009). 

Program pencegahan gangguan pendengaran terbagi menjadi 6 komponen, yaitu :

a. Identifikasi dan analisis sumber bising

Tujuan survey bising ini yaitu untuk mengetahui bising yang melebihi nilai ambang batas, mengetahui apakah bising mengganggu komunikasi pekerja, mengetahui pekerja yang paling beresiko pajanan bising, dan perlukah untuk menjalankan program pencegahan gangguan pendengaran di tempat tersebut. Ada 2 survey bising ini yaitu suvey area dan survey dosis pajanan. Survey area yaitu melakukan pengukuran di lingkungan kerja. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sumber bising yang melebihi nilai ambang batas dan menentukan langkah selanjutnya. Selain itu, survey area ini juga berguna untuk membuat peta bising. “Peta bising ini biasanya diberi warna berbeda beda untuk warna hijau kurang dari 80 dbA, warna kuning 81 dbA sampai dengan 85 dbA, orange 85 dbA sampai dengan 88dbA, merah muda 88 dbA sampai dengan 91 dbA, merah 91 dbA sampai dengan 94 dbA, dan merah tua melebihi 94dbA” (Bashirudin, 2009).

Selain survey area ada pula survey dosis pajanan. Survey dosis pajanan ini memilliki tujuan untuk mengetahui kelompok pekerja yang beresiko dan memerlukan pemantauan dosis pajanan hariannya. Alat alat yang baiasanya digunakan untuk identifikasi dan analisis sumber bising yaitu sound level meters, noise dosimeters, dan octave band analyzers.


b. Pengendalian teknis dan pengendalian administratif

Pengendalian terdiri dari pengendalian secara teknik dan pengendalian secara administratif. Bahaya kebisingan ini juga dapat dilakukan dengan pengendalian secara teknik dan administratif. Untuk pengendalian secara teknik dilakukan dengan penggantian mesin yang lebih rendah tingkat kebisingannya, atau dapat melakukan isolasi sumber bising dengan sound box dan sound enclosure. Menurut OSHA, pengendalian teknis yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan mesin yang tingkat kebisingan rendah, mengganti peralatan, memelihara dan melumasi peralatan, serta menempatkan penghalang antara sumber bising dengan pekerja.

Sedangkan menurut OSHA, pengendalian administratif yang dapat dilakukan untuk mengendalikan bahaya bising yaitu mengoperasikan mesin yang bising ketika sedikit pekerja yang ada di tempat kerja, membatasi waktu pekerja yang berada di tempat bising, menyediakan tempat yang tenang untuk pekerja yang bekerja di tempat bising, memberikan jarak antara pekerja dengan sumber bising. Namun, sebaiknya tidak dilakukan rotasi kerja misalnya: pekerja yang biasanya bekerja di tempat yang memiliki bising yang tinggi ditempatkan pada pekerjaan yang memiliki bising yang rendah. Hal ini dapat menimbulkan kasus baru terhadap penurunan pendengaran akibat bising.

Selain itu pengendalian secara administratif juga termasuk penggunaan alat pelindung diri. seperti yang dijelaskan pada UU No.1 tahun 1970 pasal 3 ayat 1 (f) syarat dari keselamatan kerja adalah menyediakan alat pelindung diri bagi pekerja. Dalam bahaya kebisingan ini, Alat pelindung diri ini harus digunakan pada pekerja yang terpajan bising melebihi 85 dBA.

Namun alat pelindung diri ini selalu bermasalah dengan masalah kenyaman pekerja yang menggunakannya, komunikasi pekerjanya, dan ketidakmampuan mendengar sinyal. Maka dari itu perlu disesuaikan dengan pekerjanya.


c. Tes audiometri

Tes audiometri adalah pemeriksaan screening pendengaran. Ini dilakukan agar dapat melakukan pertolongan dini terhadap pekerja dan mengetahui gangguan pendengaran oleh pekerja. Tes audiometri dilakukan dengan membandingkan antara data pertama yang diberikan dilakukan dengan data tahunan pekerja. Data pemeriksaan pertama dilakukan sebelum bekerja.”Pemeriksaan audiometri ini dilakukan dalam 3 syarat yaitu alat audiometric yang baik, lingkungan pemeriksaan yang tenang dan pemeriksa yang cukup handal” (Basharudin, 2009). Audiometri dilakukan pada saat:
  1. Sebelum memulai kerja
  2. Ditugaskan pada daerah yang memiliki bising lebih dari 85 dBA, ini harus dilakukan satu tahun sekali.
  3. Pemutusan hubungan kerja.

d. Komunikasi, Informasi, dan Edukasi

Komunikasi, informasi dan edukasi ini merupakan salah satu pengendalian administratif, namun KIE ini sangat dibutuhkan di tempat kerja. Maka dari itu, KIE memisah sendiri dari pengendalian administratif (Kurniawidjaja, 2012). Pemberian Informasi dan edukasi juga harus dikomunikasikan baik pada pekerja juga pada pimpinan perusahaan agar dapat mengerti bahwa pekerja membutuhkan penanganan terhadap bahaya bising ini. Komunikasi, Informasi dan Edukasi ini diberikan agar para pekerja mengerti dan lebih peduli terhadap pentingnya pemeliharaan kesehatan pendengaran. Ada 2 bentuk KIE ini yaitu pelatihan dan pemberitahuan. Pelatihan diberikan agar pekerja mengerti fisiologis pendengaran dan perlindungan pendengarannya. Sedangkan pemberitahuan seperti poster yang menyatakan bahwa tempat tersebut berbahaya memiliki kebisingan tinggi.


e. Pencatatan dan Pelaporan

“Pencatatan dan pelaporan mencakup analisis frekuensi sumber bising, sketsa plotting hasil pengukuran, pembuatan garis countour bising, denah lingkungan kerja, sumber bising, lama pajanan, kelompok pekerjaan, dosis pajanan harian dan upaya pengendalian” (Bashirrudin, 2009).

Menurut OSHA form 300 dikatakan NIHL jika terjadi perubahan ambang pendengaran terhadap baseline rata rata 10 dBA. Selain itu catatan tambahan adalah data pergeseran pendengaran pekerja baik pada 2000,3000, maupun 4000 hertz dan tingkat pendengaran seluruh karyawan terjadi pergeseran pendengaran pekerja sebesar 25 dBA pada 2000,3000, dan 4000 hertz di telinga yang sama.

Program juga harus mencakup dokumentasi dari seluruh komponen program pencegahan gangguan pendengaran ini. Catatan ini harus dijaga paling tidak selama 2 tahun dan catatan pengujian audiometri.


f. Evaluasi program

Program ini dapat diukur tingkat keberhasilannya yaitu kepatuhan pelaksanaan program, tingkat kebisingan di lingkungan kerja, insidens dan prevalens kasus NIHL (Noise Induced Hearing Loss).





Semoga bermanfaat,

Salam,
Anak KaTiga



-------
Referensi:

- Bashiruddin, J. 2009, ‘Program konservasi pendengaran pada pekerja yang terpajan bising industri’, Majalah Kedokteran Indonesia, [online], vol. 59, no.1, pp. 16-19. Dari: indonesia.digitaljournals.org/index.../609

- Bucheri. 2007. Kebisingan, [online] Dari : http://library.usu.ac.id/download/ft/07002749.pdf


- Departement of Labour Wellington New Zeland. 1994. Noise-Induced Hearing Loss of Occupational Origin: A Guide for Medical Practitioners, [online], Occupational Safety and Health Service, pp. 20-23. Dari: http://www.osh.dol.govt.nz/order/catalogue/pdf/nihl.pdf

- Kurniawidjaja. 2011, Teori dan Aplikasi Kesehatan Kerja. Jakarta: UI-Press.

Gejala Klinik, Dasar Diagnosis, dan Diferensial Diagnosis NIHL



Setelah sebelumnya kita mempelajari apa itu Noise Induced Hearing Loss (NIHL) dan siapa-siapa saja yang berisiko terkena, maka sekarang dapat kita pelajari gejala klinik, dasar diagnosis dan diferensial diagnosis dari kasus NIHL.

Gejala Klinik

Menurut Christoper (2009), terdapat beberapa gejala yang muncul pada Noise Induced Hearing Loss (NIHL), seperti:

a. Gangguan fisiologis
NIHL yang disebabkan oleh bising bernada tinggi yang terputus-putus maupun tiba-tiba dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah (± 10 mmHg), percepatan denyut nadi, peningkatan metabolisme basal, penurunan peristaltik usus, peningkatan ketegangan otot, dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer terutama pada tangan dan kaki, serta dapat menyebabkan pucat dan gangguan sensoris (Bashiruddin & Christoper, 2009)

b. Gangguan psikologis
Gejala psikologis yang muncul dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi, susah tidur, maupun cepat marah. Selain itu, NIHL dapat menimbulkan penyakit psikosomatik seperti gastritis, stres, kelelahan, dan lain-lain.

c. Gangguan komunikasi
Gangguan komunikasi biasanya disebabkan masking effect (bunyi yang menutupi pendengaran yang jelas) atau gangguan kejelasan suara, sehingga komunikasi harus dilakukan dengan cara berteriak. Gangguan ini bisa menyebabkan terganggunya pekerjaan hinga memungkinkan terjadinya keselahan karena tidak mendengar tanda bahaya.

d. Gangguan keseimbangan
Bising yang sangat tinggi akan menyebabkan kesan berjalan melayang sehingga timbul rasa pusing di kepala (vertigo) atau mual-mual.

e. Efek pada pendengaran
Efek pada pendengaran adalah gejala yang serius karena dapat menyebabkan ketualian yang bersifat progresif. Pada awalnya gangguan pendengaran ini bersifat sementara dan akan pulih jika sumber bising dihindari. Akan tetapi, pajanan yang terus-menerus akan menyebabkan hilangnya daya dengar dan tidak dapat pulih kembali.



Dasar Diagnosis

Penegakan diagnosis Noise Induced Hearing Loss (NIHL) dilakukan berdasarkan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan audiologi.

a. Anamnesis
Anamnesis berupa umur pekerja, riwayat gangguan pendengaran sebelumnya, gangguan pendengaran terjadi secara perlahan atau tiba-tiba, riwayat gangguan pendengaran pada keluarga, riwayat infeksi telinga dan gangguan lain, riwayat cedera kepala atau telinga, riwayat penggunaan obat-obat ototoksik, atau riwayat terpajan zat-zat toksik seperti BTX (benzene, toluene, dan xylene), kegiatan yang dilakukan selain di tempat kerja yang berhubungan dengan kebisingan, serta anamnesis pernah bekerja atau sedang bekerja di lingkungan bising dalam jangka waktu lima tahun atau lebih (Bashiruddin, 2009).

b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, tidak ditemukan kelainan anatomi dari telinga luar sampai gendang telinga. Selain itu, juga tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan THT dan otoskopik (Rambe, 2003 & Bashiruddin, 2009).

c. Pemeriksaan audiologi
Pemeriksaan audiometri nada murni diketahui bahwa tuli sensorineural pada frekuensi tinggi (umumnya 3000-6000 Hz) dan pada frekuensi 4000 Hz sering terdapat takik (notch) yang patognomonik untuk jenis ketulian ini (Rambe, 2003 & Bashiruddin, 2009). Sedangkan audiologi khusus seperti SISI (Short Increment Sensitivity), ABLB (Alternate Binaural Loudless Balance), dan Speech Audiometry menunjukkan adanya fenomena recruitment (peningkatan persepsi intensitas bunyi) yang khas untuk tuli saraf koklea ini (Rambe, 2003). 

Pada pemeriksaan kualitatif dengan tes penala rutin (tes rinne, weber, dan schwabach) mungkin didapatkan hasil rinne positif, weber lateralisasi ke telinga yang pendengarannya lebih baik dan schwabach memendek sesuai dengan ketulian jenis sensorineural (Bashiruddin, 2009)

Selain itu, terdapat beberapa faktor yang yang harus dipertimbangkan dalam menegakkan dignosis Noise Induced Hearing Loss (NIHL) sebagai penyakit akibat kerja, yaitu:
  1. Riwayat timbulnya ketulian dan progresifitasnya.
  2. Riwayat pekerjaan, jenis pekerjaan, dan lama bekerja.
  3. Riwayat penggunaan alat pelindung pendengaran.
  4. Pengukuran bising di tempat kerja untuk menentukan intensitas dan durasi bising yang dapat menyebabkan NIHL.
  5. Hasil pemeriksaan audiometri sebelum kerja dan berkala selama kerja. Pemeriksaan audiometri sebelum kerja sangat penting sebagi baseline data, jika hasil audiogram pada saat bekerja menunjukkan ketulian. Sehingga, dapat diperkirakan berkurangnya pendengaran tersebut diakibatkan oleh kebisingan di tempat kerja.
  6. Identifikasi penyebab untuk menyingkirkan penyebab ketulian non-industrial seperti riwayat penggunaan obat-obat ototoksik atau riwayat penyakit sebelumnya. (Rambe, 2003)


Deferensial Diagnosis

NIHL harus dapat dibedakan dengan gangguan pendengaran sensoriuneural lain maupun gangguan pendengaran konduktif. Membedakan gangguan pendengaran ini tetap harus dilakukan dengan pemeriksaan penunjang seperti tes penala atau audiometri, serta anamnesis untuk mengetahui faktor risiko yang ada dan riwayat penyakitnya. Tujuan dari deferensial diagnosis ini tentunya agar nantinya dapat menentukan tindakan pencegahan yang tepat. Menurut Departement of Labour Wellington (1994), deferensial diagnosis NIHL antara lain:

a. Otosklerosis
Otosklerosis merupakan gangguan autosomal dominan yang mempengaruhi pria atau wanita. Otosklerosis dapat menyebabkan tuli konduktif yang progresif sejak masa dewasa awal.

b. Barotrauma
Baratrauma mempengaruhi telinga bagian tengah dan dalam. Terjadinya kerusakan pada telinga bagian dalam seperti tinnitus yang persisten maupun berfluktuasi, vertigo, dan gangguan pendengaran sensorineural akibat dari frekuensi penyelaman.

c. Menieres Disease
Menieres Disease merupakan pembengkakan pada endolimpatik. Penderita mulai mengalami gangguan pendegaran sensorineural pada nada rendah, diikuti dengan gejala tinnitus, dan vertigo akut. Penyakit ini berfluktuasi dalam jangka waktu yang lama.

d. Tumor otak
Tumor otak pada umumnya, tumor pada telinga bagian dalam dapat meyebabkan gangguan pendengaran berupa acoustic neuroma yaitu tumor jinak pada sel schwann yang membungkus sel ke-8. Biasanya, gejala yang muncul seperti gejala vestibular, gangguan pendengaran mendadak, dan gejala pada penyakit Menieres.

e. Presbikusis
Presbikusis dipengaruhi oleh faktor usia yaitu sekitar usia 55-60 tahun, namun juga dapat terjadi prebikusis dini sejak umur 40 tahun. Presbikusis merupakan gangguan pendengaran sensorineural karyang disebabkan oleh adanya devaskularisasi pada koklea sehingga terjadi pengurangan sel rambut.

f. Obat ototoksik
Obat ototoksik dapat mempengaruhi telinga bagian dalam dan mekanisme pendengaran.

g. Trauma patah tulang basal
Hal ini yang menyebabkan kehilangan pendengaran pada daerah yang terkena.

h. Hiperkolesterolamia
Penelitian Martin (dalam Soesilorini, 2011) menyatakan sebanyak 71% penderita hiperkolesterol usia lanjut mengalami penurunan pendengaran dibandingkan penderita yang tidak hiperkolesterol. Hiperkolesterol ini membuat darah menjadi kental sehingga terjadi gangguan sirkulasi darah bagian dalam telinga.


Untuk mengetahui sistem apa saja yang dapat dilakukan untuk mengendalikan kasus NIHL ini, yuk simak di sini.



Semoga bermanfaat,

Salam,
Anak KaTiga


-----
Referensi:

Bashiruddin, J. 2009, ‘Program konservasi pendengaran pada pekerja yang terpajan bising industri’, Majalah Kedokteran Indonesia, [online], vol. 59, no.1, pp. 16-19. Dari: indonesia.digitaljournals.org/index.../609 
Christoper, A. 2009. Noise Induced Hearing Program, [online], Faculty of Medicine, University of Riau. Dari: http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/02/noise-induced-hearing-loss-nihl-files-of-drsmed.pdf 
Departement of Labour Wellington New Zeland. 1994. Noise-Induced Hearing Loss of Occupational Origin: A Guide for Medical Practitioners, [online], Occupational Safety and Health Service, pp. 20-23. Dari: http://www.osh.dol.govt.nz/order/catalogue/pdf/nihl.pdf 
Rambe, A. 2003. Gangguan Pendengaran Akibat Bising, [online], Fakultas Kedokteran, Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan, Universitas Sumatera Utara. Dari: http://library.usu.ac.id/download/fk/tht-andrina1.pdf 
Soesilorini, Melinda (2011) Faktor-Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Presbikusis Di Rsup Dr. Kariadi Semarang, Masters thesis, [online], Universitas Diponegoro. Dari :  http://eprints.undip.ac.id/31380/7/Bab_6.pdf 

Pekerja Berisiko Noise Induces Hearing Loss (NIHL)


Sebelum mempelajari lebih lanjut mengenai hearing loss, alangkah lebih baik teman-teman membaca terlebih dahulu anatomi dan fisiologi sistem pendengaran, serta penyebab utama NIHL, yaitu kebisingan agar dapat memahami kasus NIHL lebih baik


Sumber: https://goldage.com.au/wp-content/uploads/2017/05/Hearing-Loss.jpg


Hearing Loss

Gangguan pendengaran (hearing loss) adalah ketidakmampuan telinga dalam mendengar baik secara parsial maupun total pada salah satu telinga ataupun keduanya (Connelly, 2005).

Jenis gangguan pendengaran (hearing loss) diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu:

a. Gangguan pendengaran konduktif
Gangguan pendengaran konduktif adalah gangguan pendengaran yang disebabkan karena kelainan pada membran timpani, telinga tengah dan kanal telinga eksterna (Susanto, 2010). Gangguan ini menyebabkan suara yang mencapai koklea berkurang, hal ini dikarenakan adanya hambatan yang berupa kondisi ataupun penyakit pada telinga luar atau telinga dalam. Gangguan pendengaran ini dapat disembuhkan.

b. Gangguan pendengaran sensorineural
Gangguan pendengaran ini adalah gangguan pendengaran yang disebabkan karena kerusakan pada koklea, saraf pendengaran dan batang otak. gangguan pendengaran ini dapat mengakibatkan berkurangnya intensitas suara dan berkurangnya kejelasan suara dan tidak dapat disembuhkan. Gangguan ini adalah gangguan yang sering terjadi.

c. Gangguan pendengaran campuran
Gangguan ini adalah campuran dari gangguan konduktif dan sensorineural.



Noise Induced Hearing Loss (NIHL)

Sedangkan, NIHL (Noise Induced Hearing Loss) adalah kehilangan fungsi pendengaran karena pajanan bising secara terus-menerus dan dalam jangka waktu yang lama (Kirchner, et.al, 2012: 106).

Gangguan pendengaran akibat bising merupakan penyakit akibat kerja yang sering dijumpai di banyak pekerja industri, Gangguan pendengaran tersebut biasanya bilateral tetapi dapat juga unilateral. Gangguan biasanya mengenai nada tinggi dan terdapat takik di frekuensi 4000 Hz pada gambaran audiogramnya. Pada tahap awal gangguan itu hanya dapat dideteksi dengan pemeriksaan audiometri. Gejala awal biasanya adanya keluhan berdenging di telingnya.

Gangguan pendengaran jenis sensorineural terjadi akibat kerusakan struktur di koklea yaitu kerusakan pada sel-sel rambut di organ korti. Gangguan pendengaran akibat bising dapat ringan sampai berat akibat pajanan bising yang berlangsung lama, yang menyebabkan kerusakan pada sel-sel rambut yang juga terjadi bertahap, perlahan-lahan sehingga tidak disadari oleh para pekerja. Pada tahap yang berat dapat mengganggu komunikasi, sehingga mempengaruhi kehidupan sosialnya. Gangguan pendengaran akibat bising bersifat menetap dan tidak dapat disembuhkan, oleh karena itu pencegahan sangat penting (Bashiruddin, 2009).



Pekerja Beresiko NIHL
  1. Pekerja tambang
    Karena biasanya mereka menghadapi alat alat berat yang menghasilkan kebisingan. Selain itu, pekerja tambang yang bertugas pada bagian blasting juga menghadapi kebisingan pada saat peledakan itu sendiri. 
  2. Pekerja yang menggunakan mesin-mesin berat, seperti pada proses percetakan besi dan proses penempaan, pekerja di penggalian yang melakukan pengeboran dan peledakan, serta pengemudi kendaraan dengan mesin pembakaran yang kuat seperti pesawat terbang, truk, bajaj, dan kendaraan kontruksi. 
  3. Beberapa pekerja lain yang beresiko terhadap NIHL yaitu pekerja yang menggunakan mesin-mesin jet, pembuat terowongan, pekerja dengan mesin tekstil, dan lain lain (WHO, n.d.)

Selanjutnya, untuk mengetahui gejala klinis kasus NIHL klik disini dan untuk pengendaliannya dapat diklik disini.



Semoga bermanfaat,

Salam,
Anak KaTiga


-----
Referensi:

-Bashiruddin, J. 2009, ‘Program konservasi pendengaran pada pekerja yang terpajan bising industri’, Majalah Kedokteran Indonesia, [online], vol. 59, no.1, pp. 16-19. Dari: indonesia.digitaljournals.org/index.../609

-Connelly, P. 2005. ‘Hearing loss’, Your Guide to Better Hearing, [online], Better Hearing Institute, pp. 4-6. Dari: http://www.betterhearing.org/pdfs/e-Guides/YourGuideBuyingHearingAids.pdf

-Kirchner, et.al. 2012. ‘Occupational noise-induced hearing loss’, Journal of Occupational and Environment Medicine, [online], American College of Occupational and Environmental Medicine (ACOEM), Vol. 54, No. 1, pp. 106. Dari: http://www.acoem.org/uploadedFiles/Public_Affairs/Policies_And_Position_Statements/Occupational%20Noise-Induced%20Hearing%20Loss.pdf
-Susanto, 2010. Resiko Gangguan Pendengaran pada NeonatusHiperbilirubinemia, [online], Universitas Diponegoro, Dari: http//www.eprints.undip.ac.id/29093/3/Bab_2.pdf

-WHO. (n.d.). Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja. Jakarta: EGC

Anatomi dan Fisiologi Telinga dan Hubungan dengan NIHL



Anatomi Telinga

Telinga merupakan organ halus yang mampu mendeteksi rentang bunyi yang luas. Menurut Patricia E. Connelly dalam Hearing Loss, struktur anatomi telinga terdiri dari:

Sumber: Encyclopedia Britanica, Inc, 1997

a. Telinga bagian luar

Telinga bagian luar terdiri daun telinga (pinna) dan lubang telinga sampai membran tympani. Lubang telinga berbentuk seperti huruf ‘S’ dan panjangnya sekitar 1 inchi pada orang dewasa. Di dalamnya terdapat rambut dan kelenjar yang memproduksi serumen yang membantu sebagai lubrikan. Telinga bagian luar berfungsi sebagai pendeteksi suara dan menyetarakan tekanan.


b. Telinga bagian tengah

Telinga bagian tengah terdiri dari gendang telinga (membran tympani) yang merupakan pembatas antara telinga bagian luar dan telinga bagian tengah. Getaran pada membran timpani akan ditransmisikan melalui malleus, incus dan stapes. Stapes berfungsi untuk mentransmisikan getaran ke telinga bagian dalam.


c. Telinga bagian dalam

Telinga bagian dalam terdiri dari koklea dan saraf pendengaran. Bentuk koklea menyerupai rumah siput dan ditengahnya terdapat serabut saraf yang terhubung dengan otak yang disebut organ korti. Organ korti terdiri dari beribu-ribu sel rambut yang berfungsi mengantarkan rangsangan ke otak. Jika sel rambut ini selalu menghantarkan suara dengan frekuensi yang tinggi maka sel rambut akan kelelahan dan kemudian mati. Kerusakan seperti ini bersifat irreversible (tidak dapat kembali pulih).




Fisiologi Telinga

Menurut John Ridley dalam bukunya yang berjudul Kesehatan dan keselamatan kerja, cara kerja pendengaran sebagai berikut:
  1. Pulsa-pulsa tekanan bunyi memasuki telinga luar dan menyebabkan gendang telinga bergetar.
  2. Getaran ini dipindahkan melalui telinga bagian tengah oleh satu kumpulan yang terdiri atas tiga lubang kecil, yang dikenal sebagai ossicles, ke jendela oval telinga terdalam.
  3. Jendela oval memindahkan getaran tersebut ke cairan di dalam telinga terdalam.
  4. Cairan tersebut membawa getaran tadi ke sel-sel rambut koklea yang peka.
  5. Sel-sel rambut koklea ini menerjemahkan getaran tersebut menjadi sinyal-sinyal listrik yang diteruskan ke otak yang kemudian ditafsirkan sebagai bunyi-bunyian.


Anatomi dan Fisiologi Sistem Pendengaran Penderita Noise Induced Hearing Loss (NIHL)

Noise Induced Hearing Loss (NIHL) disebabkan oleh kerusakan pada telinga bagian dalam (koklea) khususnya pada sel rambut yang mengubah getaran dalam cairan koklea menjadi sinyal listrik yang dapat dibawa oleh saraf pada koklea ke otak. NIHL dapat bersifat reversible maupun permanen (Irreversible). 

Telinga Normal  Vs  Telinga Penderita NIHL


NIHL yang bersifat reversible ini disebabkan oleh perubahan sub-mikroskopik pada rambut sel sehingga membahayakan fungsinya. Sedangkan NIHL yang bersifat permanen disebabkan oleh kematian sel rambut yang dapat terjadi seketika akibat pajanan bising. Sel rambut yang telah mati tidak dapat tumbuh kembali atau digantikan. Hal ini dapat menyebabkan penurunan fungsi sistem saraf koklea setelah terjadinya pajanan yang terus-menerus (Liberman and Kujawa, 2010).

Apa daja jenis-jenis Noise Induced Hearing Loss (NIHL)? yuk klik disini untuk mengetahuinya lebih lanjut.




Semoga Bermanfaat,

Salam,


------
Referensi:
- Ridley, John. (2008). Ikhtisar Kesehatan dan Keselamatan Kerja, edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga
- Connelly, P. 2005. ‘Hearing loss’, Your Guide to Better Hearing, [online], Better Hearing Institute, pp. 4-6. Dari: http://www.betterhearing.org/pdfs/e-Guides/YourGuideBuyingHearingAids.pdf

Thursday, April 5, 2018

Refinning Processing (Proses Kilang) Minyak Mentah




Dalam proses penyulingan/kilang minyak mentah (crude oil) simpelnya terdapat 2 tahapan, yaitu:


Tahap 1. Distillation Process (Proses Penyulingan Awal)

Disebut proses distilasi karena disini terjadi proses memisahkan fraksi-fraksi yang terkandung di dalam crude oil berdasarkan tingkat titik didih hingga nantinya didapatkanlah hasil berupa: kerosin, naptan, diesel, hingga gas LPG. Proses tahap 1 ini juga dapat dilihat lebih jelas oada gambar-gambar berikut: (klik gambar untuk memperbesar)


Crude oil dipanaskan


Fraksi-fraksi Minyak Mentah Memisahkan Diri


Dilakukan Reboiler


Destilasi Lanjutan 


Hingga Menghasilkan Bahan Bakar Berupa Gas, Minyak dan Padatan



Tahap 2. Proses Perubahan Struktur Kimia

Proses perubahan struktur bahan kimia disini dilakukan dengan:

  • Pemecahan molekul (process cracking)
  • Penggabungan molekul (proses alkalisasi, polimerisasi)
  • Perubahan struktur molekul (process reforming)


Komposisi Fraksi-fraksi Sebelum dan Setelah di Proses



Fluidized Catalytic Cracking




Untuk video simulasi/demo-nya dapat dilihat pada video dibawah ini.








Semoga Bermanfaat,


Salam,


Rekomendasi Artikel Lain Untuk Anda: